Sabtu, 10 November 2012

Where is your God?



Dewasa ini, banyak orang sama sekali tidak menyadari hubungan kehidupan yang mesra dengan Allah atau dengan tegas menolaknya . Menanggapi kenyataan yang sangat gawat itu, Paus Paulus VI membentuk sekretariat untuk orang yang tidak beragama yang oleh Paus Yohanes Paulus II diganti menjadi komisi kepausan untuk kebudayaan. Tujuan komisi ini adalah mempromosikan perjumpaan pesan Injil dengan budaya zaman kita, dan untuk mempromosikan studi mengenai masalah ateisme dan religious indifference, lalu menyelidiki penyebab dan akibatnya terhadap iman Kristiani.
Hasil studi komisi itu dirangkum dalam sebuah dokumen yang berjudul “Where is your God?”. Dokumen ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan ringkasan analis dari ateisme dan religious indifference, sedangkan bagian kedua menawarkan sejumlah usulan konkret untuk dialog dengan orang yang ateis dan untuk evangelisasi budaya yang ditandai oleh ateisme dan religious indifference.

Dari informasi-informasi yang dikumpulkan oleh komisi kepausan untuk kebudayaan, bisa ditarik beberapa hal penting: secara global, ateisme tidak meningkat di dunia, tetapi hanya di barat; ateisme militan memudar dan tidak lagi memiliki pengaruh yang penting dalam kehidupan publik, kecuali di rezim dimana sistem politik ateis masih berkuasa; ateisme berganti wajah, yaitu terkait dengan gaya hidup, dan emansipasi perempuan; ateisme praktis berkembang pesat; agnotisisme tetap; rasa hormat pada otoritas atau nilai-nilai religius pudar; Allah tidak lagi dibutuhkan, tetapi hanya mengejar kebutuhan materi dan biologis; dalam budaya sekularisasi, jumlah orang yang ikut Misa menurun; di barat, disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidak memuaskan, pencarian kehidupan spiritual berkembang, tetapi tidak kembali ke praktik religius tradisional; akhirnya, pada awal milenium baru, suatu ketidakpuasan terjadi baik dalam ateisme militan dan iman tradisional; orang meninggalkan begitu saja kepercayaan tradisional, tetapi manusia yang disebut homo indifferens merupakan homo religiosus yang mencari religiusitas yang baru dan selalu berubah.

Di negara-negara Kristen tradisional, orang menjadi tidak percaya bukan karena pilihan setelah pergulatan yang panjang, tetapi hanya terjadi begitu saja, karena “itulah yang orang lain lakukan” (cosi fan tutti). Ini disebabkan oleh pewartaan yang kurang efektif, ketidakpedulian pada tradisi keagamaan dan budaya kristiani, dan kurangnya tawaran pengalaman rohani yang mendalam.

Masalah ketidakpercayaan lebih menyangkut pertanyaan akan kekurangpedulian (negligence) daripada menyakiti orang lain (malice). Banyak yang yakin bahwa dibalik fenomena ini ada gerakan yang terencana, asosiasi, dan kampanye yang disengaja. Di dalam GS 19-21 disampaikan beberapa penyebab orang menjadi ateis:
• Ilmu pengetahuan modern: visi dunia tidak lagi mengindahkan peran Allah, bahkan seolah-olah menolak keberadaannya. Teori kosmologi dan evolusi yang selalu diulang oleh media massa ikut berperan pada penolakan akan Yang Transenden.
• Manusia Absolut adalah pusat alam semesta: meski regim ateisme Marxis dan Lenin sudah runtuh, tetapi model antropologi yang menekankan bahwa manusia adalah pusat mutlak dari realitas ditekankan semakin kuat. Manusia menggantikan Allah. Akibatnya terjadi alienasi manusia. Berkembang filsafat nihilisme, relativisme nilai dan moralitas, pragmatisme, bahkan hedonisme sinis, dalam hidup sehari-hari. Manusia juga menjadi egois, dan menolak nilai obyektif, tetapi tergantung pada pendapat pribadi setiap orang.
• Masalah Kejahatan: adanya kejahatan dan penderitaan orang tidak berdosa menjadi alasan untuk membenarkan ketidakpercayaan dan penolakan akan Allah yang baik. Paham kebebasan bahwa manusia bisa berbuat baik atau jahat tidakbisa diterima.
• Keterbatasan sejarah orang Kristen dan Gereja di dunia: mayoritas kelompok ateis adalah orang-orang Kristen yang kecewa (deluded) atau tidak puas. Mereka menganggap kepercayaan itu sia-sia. Penyebabnya biasanya berkaitan dengan suatu peristiwa di Gereja yang kurang menyenangkan yang dialami pada masa remaja. Misalnya, imam yang melakukan skandal (seks atau materi). Meski begitu, kadang relasi dengan Allah tetap dipertahankan.

Selain sebab-sebab di atas, ditemukan juga beberapa faktor penyebab yang baru:
- Keretakan dalam proses pewarisan iman.Salah satu akibat proses sekularisasi adalah semakin sulitnya mewariskan iman melalui katekese, melalui sekolah, keluarga, dan homili. Misalnya, ritme kerja orangtua yang terlalu sibuk,banyak sekolah katolik yang ditutup, serta kurangnya komitmen para guru untuk mengajarkan iman Katolik.
- Globalisasi Perilaku.Peradaban zaman sekarang terlalu erat terjalin dengan hal-hal duniawi, seperti sukses, uang, kesenangan individu, sehingga menciptakan banyak praktik ateis. Manusia hanya sebagai obyek. Namun kebutuhan rohani bisa juga muncul karena ritme hidup yang melelahkan (frenetic) dan berlebihan (obsesive). Orang mencari Allah dalam agama alternatif yang menawarkan keterlibatan afektif dan emosional dalam dosis tinggi, tanpa tanggung jawab moral atau sosial. Maka muncullah banyak tawaran “do-it-yourself religion”, sebuah hidup rohani berciri supermarket (spiritual supermarket) di mana orang bebas memilih dan melepaskan seturut dengan rasa dan kesenangan pribadi.
- Media Massa pada kodratnya bersifat ambivalen, bisa baik bisa jahat. Sayangnya, sering media massa menyuarakan ateisme dan religious indifferent. Di negara (mayoritas) Kristen, beberapa media massa menampilkan gambaran yang keliru tentang Gereja. Di internet terdapat banyak situs setan yang menyampaikan hasutan bersifat anti Kristiani. Persepsi negatif ini menghalangi pewartaan pesan iman.
- Pertumbuhan sekte-sekte adalah reaksi terhadap budaya sekular. Gerakan yang dikenal dengan New Age ini kendati tidak menyebabkan ateisme, tetapi ikut andil dalam kebingungan agama. Juga kritik kasar dari elit-elit tertentu, gerakan keagamaan yang baru, dan bujukan sekte pantekosta berperan pada melemahnya hidup iman. Komunitas sekte ini banyak menarik kaum muda menjauh dari Gereja tradisional (Amerika dan Afrika), tetapi tidak sanggup memuaskan kebutuhan rohani mereka terus-menerus. Bagi banyak orang, agama ini menjadi titik keluar dari agama.

Berbicara tentang sekularisasi, yang dipersoalkan adalah sekularisasi sebagai sebuah konsep dunia yang sempurna (self explanatory), tanpa perlu peran Allah. Banyak yang menyebut diri Katolik, begitupun juga dari agama lain, masuk dalam gaya hidup di mana Allah, atau agama, kurang penting. Iman muncul tanpa substansi dan tidak lagi membutuhkan keterlibatan pribadi. Ada ketidakselarasan antara iman yang diakui dan dihayati. Beberapa gaya hidup sekular yang memberi efek negatif pada hidup iman antara lain: mentalitas hedonisme, konsumersime, relativisme, laxisme, pansexualisme, dan kumpul kebo. Aborsi dan eutanasia diterima sebagai praktik yang biasa. Dogma pokok iman Kristen: inkarnasi Kristus, Kristus sang Juruselamat, kebangkitan badan, dan kehidupan kekal dipandang tidak penting.

Sejalan dengan berkembangnya ketidakpedulian akan agama di negara sekular, muncul pencarian akan suatu agama yang romantis, yaitu agama yang berakar pada krisis subyek yang menjadi lebih narcistik, dan menolak semua unsur historis dan obyektif. Beberapa kekhasannya:
- Agama baru merupakan penyembahan terhadap Allah yang sering tidak punya wajah atau karakter personal. Allah adalah sebuah kekuatan atau sesuatu yang transenden dan superior, tetapi yang tidak punya atribut personal, seperti seorang ayah.
- Elemen konstitutif dari agama baru adalah bahwa pangkalnya pada “aku”. Agama ini berdasarkan kesuksesan pribadi dan pencapaian tujuan masing-masing orang, sehingga disebut “Biographiocal Do-It-Yourself Religion”. Setiap orang menciptakan gambaran baru tentang Allah dalam setiap taraf hidup mereka, mulai dari bahan yang bermacam-macam seolah-olah dia merupakan suatu bentuk “Holy patchwork”.
- Kurangnya ketertarikan akan pertanyaan tentang kebenaran. Pertanyaan akan kebenaran kristianitas dan keberadaan Allah dianggap tidak ada arti dan tidak relevan. Kebenaran dipandang secara negatif yaitu konsep dogma, intoleransi, pemaksaan, dan inkuisisi, sebagai sarana memaksakan pilihan hati nurani, yang tidak berkaitan dengan kebenaran.

Budaya dan keagamaan baru menjadi kesempatan untuk memperdalam imanumat Kristiani dan mencari cara baru mewartakan Kabar Gembira Cintakasih Yesus Kristus kepada orang ateis dan indifferent. Misi Gereja bukanlah merintangi transformasi budaya tetapi memastikan bahwa iman dalam Kristus diwariskan dalam jantung budaya dan menjalani perubahan yang mendalam.
Dialog dengan orang ateis didasarkan atas dua segi perintah Yesus kepada Gereja: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15) dan “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mt 28:19). Tugas misionaris adalah tugas semua orang Kristen tanpa kecuali.

Cara yang paling tepat adalah dialog yang personal, penuh hormat, penuh cinta, disokong oleh doa, dan keyakinan akan kebenaran iman Katolik sambil berharap bahwa orang ateis sampai pada pengenalan akan satu-satunya Allah yang benar, dan Yesus Kristus yang telah diutus.”(Yoh 17:3). Dialog bisa bertolak dari beberapa tema penting kehidupan: makna hidup dan kematian, pengalaman rohani; atau tema kemasyarakatan: kemiskinan, solidaritas. Dialog bisa juga bersifat lebih formal melalui diskusi dan debat dengan organisasi ateis. Intinya adalah bagaimana iman dijelaskan agar mudah dipahami dan diterima.

Sudah menjadi perutusan Gereja untuk bergulat dengan persoalan budaya setiap masyarakat dan bangsa. Tujuannya adalah untuk membiarkan Injil masuk dalam situasi aktual hidup setiap orang dalam masyarakat. Ada beberapa cara yang dilakukan Gereja:
1. Menghadirkan Gereja di forum umum. Kehadiran yang kelihatan dan tindakan Gereja yang konkret dalam masa ini sangat penting dan dibutuhkan untuk mempertemukan orang dengan pesan kebenaran yang dinyatakan dalam Kristus. Misalnya dalam debat-debat besar dan peristiwa sosial yang menghadirkan pesan Kristus sedemikian rupa sehingga menarik perhatian dunia, misalnya dalam world youth day; pilgrimage of the relics of St. Therese of the Child Jesus, karya sosial, dan politik.
2. Membantu dan mendampingi keluarga karena merekalah yang menjadi tempat pertama perwarisan iman, misalnya melalui persiapan sebelum perkawinan.
3. Meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pada tingkat dasar, dan memperhatikan inisiasi Kristen melalui katekese sakramental yang menjadi conditio sine qua non bagi pertumbuhan yang berkelanjutan kedalam hidup ilahi dan kasih Gereja. Beberapa hal konkret misalnya studi Kitab Suci dan ajaran sosial gereja untuk membantu peserta lebih aktif dengan terang iman memikirkan kehidupan bermasyarakat.
4. Mewartakan iman melalui keindahan dan warisan budaya, yang dengan bahasa simbolis mempunyai kekuatan untuk menyatukan semua orang dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda, sekaligus merupakan sarana penting untuk mengarahkan kepada Allah, dan memuaskan dahaga spiritual.
5. Mengoptimalkan dua sisi penting pendekatan pewartaan, yaitu kepala dan hati, pikiran dan perasaan. Berhadapan dengan persoalan bahasa, diambil pemecahan untuk masuk dalam situasi konkret, misalnya menggunakan bahasa kaum muda. Penting juga relasi personal (lingkungan), dan masalah inkulturasi.
6. Menjadikan Pusat Budaya Katolik sebagai sarana bagi Gereja untuk hadir dan memperkenalkan secara kreatif ajaran-ajaran Kristiani kepada masyarakat luas. Misalnya tentang keluarga, kerja, ekonomi, masyarakat, politik, dan lingkungan.
7. Menciptakan wisata rohani, misalnya kegiatan dan acara yang membantu memahami keistimewaan warisan Gereja lokal, adanya museum keuskupan, dan perjalanan devosi (popular piety), yang sekaligus menjadi sarana katekese dan pendidikan. Tidak kalah penting adanya website keuskupan untuk mempublikasikan kegiatan tersebut.

“Untuk menampilkan kehadiran Allah sangat mendukunglah kasih persaudaraan umat beriman, yang sehati-sejiwa, berjuang demi iman yang bersumber pada Injil, serta membawakan diri sebagai tanda kesatuan.” (GS. 21). Kesaksian cinta kasih merupakan argumen paling meyakinkan untuk membuktikan bahwa Allah ada (bdk. 1Kor 13). Para kudus adalah contoh konkret orang yang memancarkan kasih dalam hidup mereka. Zaman ini, kasih itu tampak dalam keterlibatan Gereja dalam membantu orang miskin, dan tertindas.

Persoalan ateisme dan religious indifferent sudah cukup lama disadari oleh Gereja. Studi yang dilakukan oleh komisi kepausan untuk kebudayaan ini sudah sangat detil dan lengkap. Usulan-usulan yang diberikan pun sangat konkret. Meski demikian tampaknya pengaruh ajaran Gaudium et Spes dan dokumen Where is your God ini belum cukup dirasakan. Saya memikirkan beberapa faktor yang menjadi penyebab. Pertama, sangat terasa khususnya dalam dokumen ini, suatu bentuk superioritas Gereja Katolik. Judulnya saja sudah terkesan menyerang. Maka tidak heran bahwa orang ateis langsung bersikap defensif. Kedua, dokumen ini menurut saya kurang disosialisasikan, sehingga meski dibuat delapan tahun yang lalu, penerapan usulan konkret yang diberikan belum maksimal. Apalagi memang butuh waktu yang lama dan tenaga yang besar untuk menanggapi suatu budaya. Meski demikian, Gereja mengajak kita untuk tidak menyerah, tetapi berani berkata seperti Petrus: “Karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." (Lk. 5:5b).

Sumber: dokumen Vatikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar