Minggu, 11 November 2012

Mbok Turah


Pertama kali melihat Omah Petroek, saya merasakan suasana yang unik, yaitu perpaduan antara suasana pedesaan yang asri dan sejuk dengan suasana artistik-kultural. Suasana itu diperkuat oleh keramahan Mas Anto dan Mas Wawan yang menyambut kami dengan sangat ramah. Kami diajak berkeliling melihat sekitar Omah Petroek. Saya melihat rumah panggung yang sederhana tetapi indah dan bersih, pohon-pohon yang asri, taman yang tertata rapi, dan patung-patung yang artistik.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah patung Mbok Turah.Patung Mbok Turah adalah patung seorang ibu dengan nuansa budaya Jawa yang sedang duduk di lantai.Berbeda dengan patung-patung lainnya, patung ini berada di dalam sebuah rumah/pondok kecil yang terbuka (tidak punya dinding). Selain itu, patung ini juga paling besar, diberi dupa dan bunga. Tampak jelas bahwa patung ini mendapatkan perhatian yang khusus.
Pertama kali melihat patung Mbok Turah, saya merasakan suatu nuansa religius, yaitu penghormatan terhadap sesuatu yang dilambangkan oleh Mbok Turah. Pertanyaannya adalah Mbok Turah itu melambangkan apa? Apakah dia adalah gambaran dari ibu yang punya jasa besar bagi Omah Petroek? Apakah dia tokoh terkenal dalam budaya Jawa? Atau adakah makna lain?
Dari Mas Anto saya mengetahui makna simbol Mbok Turah. Kata “turah” dalam bahasa Jawa berarti berlebih (bukan sisa). Berlebih ini melambangkan kemakmuran dan kemurahan hati. Maka Mbok Turah ini melambangkan kelimpahan yang selalu diterima oleh Omah Petroek, sekaligus kemurahan hatinya untuk membagikan kelimpahan itu kepada orang yang datang. Harapannya bahwa semua orang yang datang tersentuh oleh kemurahan hati Omah Petroek dan tergerak untuk menjadi murah hati juga bagi orang lain. Persis ini juga yang saya rasakan.
Mbok Turah yang melambangkan kemurahan hati dikaitkan juga dengan seorang ibu yang bekerja dengan keras untuk menghidupi anaknya. Tidak ada motivasi lain bagi seorang ibu selain bahwa anaknya bisa tumbuh-berkembang dan hidup dengan baik. Ibu akan melakukan apapun agar keinginannya itu terwujud. Maka penghormatan kepada Mbok Turah menjadi simbol penghormatan kepada para ibu yang menjadi pahlawan bagi anak-anak mereka. Bagi orang Katolik, simbolisasi ibu ini bisa dikaitkan dengan Maria, teladan para ibu. Maria adalah contoh sosok ibu yang dengan penuh cinta berperan besar dalam membesarkan Yesus yang adalah anak Allah. Dan bagi semua agama, Mbok Turah melambangkan Allah sendiri yang sangat murah hati kepada manusia.
Simbolisasi ini mengikuti alur pemikiran teologi Kosuke Koyama. Dalam kunjungannya ke Sekolah Teologi Tarus di Kupang, dia melihat sebuah peternakan ayam di sekitar sekolahan. Para siswa memelihara ayam untuk menambah pemasukan pribadi mereka. Ayam-ayam itu menjadi pangkal terjadinya dialog:
A: saya melihat telur: dijual dan dapat uang.
B: saya melihat Allah: Dia yang menciptakan ayam bagi kita untuk dimakan.
C: saya melihat sebuah kehidupan keluarga yang baik: Ibu yang bertanggungjawab.
D: saya melihat perbedaan antara manusia dan hewan: yaitu berkaitan dengan pemahaman yang dimiliki manusia yang menjadikan dia lebih superior.
Dalam percakapan lain tentang gambar/patung Buddha dan Hindu, Kosuke Koyama membandingkan gambar yang memilikiduatangandengan gambar yang memiliki lebih dari dua tangan (“seribu tangan”). Gambar dengan “banyak tangan” yang merupakan hal biasa dalam tradisi Hindu, sulit dipahaminya (mengganggunya) secara psikologis. Menurutnya, gambar “seribu tangan” tampak seperti sebuah bentuk yang aneh. Kalau menyimbolkan kesiapsediaan untuk membantu, tampaknya itu adalah hasil imaginasi yang sangat menyolok. Menurutnya, gambar dua tangan yang normal memiliki makna yang jauh lebih dalam karena kesediaan untuk membantu menjadi sangat menonjol berhadapan dengan keterbatasan, yaitu hanya “dua tangan”.Dalam keterbatasan itulah tampak jati diri mereka yang mempersiapkan segalanya secara lebih dalam dan lebih menyeluruh untuk membantu dan menyelamatkan yang lain.Yang terbatas itu akan memiliki tenaga yang lebih kuat dan lebih bersemangat daripada yang tak terbatas. Menutip Injil Lukas, Kosuke Koyama mengangkat kisah persembahan janda miskin yang dipuji oleh Yesus. Persembahan itu menjadi sangat berarti karena diberikan dari kekurangan janda itu (Bdk. Lk. 21:1-4). Kosuke Koyama mau menunjukkan bahwa kuasarahmat Allah bekerjamelaluiketerbatasannya (bdk. 2Kor 13:4).
Dari kedua contoh simbolisasi yang ditulis oleh Kosuke Koyama dalam bukunya yang berjudul 50 Meditations, bisa dilihat kaitan yang sangat erat antara simbol dengan yang disimbolkan dan bahwa simbol bisa membawa orang pada realitas yang sesungguhnya. Demikian pun halnya dengan patung Mbok Turah. Melihat patung ini, orang langsung dibawa ke suasana yang simbolis. Orang langsung bertanya apa maknanya? Orang bisa menerima pemaknaan yang diberikan oleh sang pembuat, bisa menambahkan dengan penafsiran lain, atau bisa juga menolaknya. Patung Mbok Turah bisa membawa pada berbagai macam penafsiran yang tidak mengikat. Ketika Mas Anto menyebut bahwa nama patung itu adalah Mbok Turah, dia juga menambahkan bahwa “nama itu bisa diganti dengan nama apapun”. Nama bukanlah persoalan. Yang pokok adalah bahwa lewat patung Mbok Turah, atau apapun namanya, orang bisa sampai pada suatu rasa penghormatan kepada realitas dari patung itu, apapun itu, tergantung dari penafsiran tiap orang: bisa ibu yang melahirkan, bisa Bunda Maria, bisa Allah yang Pemurah, atau apapun. Di sinilah keunggulan bahasa simbol. Dia bisa mengakomodasi berbagai macam penafsiran. Orang juga bisa belajar untuk mulai keluar dari pikiran yang sempit dan tertutup, untuk mau terbuka menerima perbedaan yang ada. Saya kira inilah salah satu visi yang dibawa oleh Omah Petroek.
Maka jika ditanya apakah patung-patung di Omah Petroek itu merupakan suatu praktik yang sesat menurut ajaran Gereja Katolik, menurut saya tidak. Omah Petroek justru memperlihatkan realitas dunia yang beragam, sekaligus mengajarkan nilai keterbukaan yang dibawa oleh Yesus. Yesus berani keluar dari pikiran sempit orang Yahudi yang melihat diri mereka sebagai satu-satunya yang benar dengan mengisahkan sebuah perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Lk. 10:30-35).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar