Jumat, 16 November 2012

Kerajaan Allah adalah Kasih

Lukas 17:20-25


Bagaimana gambaran kita tentang kerajaan Allah? Apakah seperti sebuah istana? Ada raja, prajurit, dayang-dayang, dan sebagainya? Mungkin ada yang berpikiran seperti itu, tetapi mungkin ada juga yang tidak.
Saya teringat sebuah film yang sangat bagus. Judulnya adalah “the Kingdom of Heaven”. Film ini mengangkat kisah perang salib yang terjadi di Israel sekitar tahun 1096. Dalam perang itu, orang Kristen dan orang Islam berperang memperebutkan Yerusalem, yang disebut “kerajaan surga”. Namun ada adegan yang sangat menarik ketika Balian, putera Godfrey, memutuskan untuk menyerahkan Yerusalem dengan syarat penduduk di dalamnya selamat. Keputusan ini sangat ditentang khususnya oleh para imam yang berpandangan bahwa lebih baik mati daripada harus menyerahkan Yerusalem. Apakah Yerusalem memiliki nilai yang demikian besar? Ketika Salahuddin ditanya mengapa dia mau berkorban besar untuk merebut Yerusalem, apa arti Yerusalem baginya, dia menjawab: “Jerusalem is nothing....Jerusalem is everything”. Mengapa dia menyebut “Jerusalem is nothing”, lalu kemudian mengatakan “Jerusalem is everything”. Menurut saya, “Jerusalem is nothing” kalau hanya melihat istananya, tempatnya, kotanya, tanahnya, dsb. Namun “Jerusalem is everything” kalau melihat bahwa dibalik Yerusalem ada nilai agama dan keadilan yang mau diperjuangkan. Bagi orang Islam, Yerusalem mempunyai arti penting karena di situ ada masjid al aqsa. Namun lebih daripada itu, mereka harus merebut Yerusalem supaya kedudukan mereka di Timur Tengah menjadi terjamin, dan terjadi damai. Ingat, orang-orang Kristen yang menduduki Yerusalem adalah orang-orang Eropa.
Selanjutnya, dalam adegan terakhir, dikisahkan bahwa Salahuddin bertemu dengan Balian untuk berunding. Sebagai salam perpisahan, Salahuddin mengatakan: “God be with you” yang kemudian dijawab oleh Balian, “walaikumsallam”. Mau memahami orang lain dan menerimanya adalah langkah awal menuju Kerajaan Surga.
Berangkat film itu, kita bisa menyadari bahwa Kerajaan Allah bukanlah istana yang megah, pelayanan yang istimewa, atau kenikmatan yang berlimpah. Akan tetapi kerajaan Allah adalah suatu situasi di mana Allah hadir dan berkuasa. Apa tandanya? Kasih! Kalau ada kasih, Allah hadir di situ, ubi caritas et amor, deus ibi est. Maka kita tidak usah khawatir dan bertanya-tanya: “kapan Kerajaan Allah datang?” Kalau kita mengamalkan kasih, kerajaan Allah datang saat itu juga. Kalau kita merasakan damai, kasih orang-orang di sekitar kita, persaudaraan yang intim, persahabatan yang erat, pertolongan yang ikhlas, itulah Kerajaan Allah. Kita tidak bisa menunggu suasana seperti itu datang, kalau bukan kita sendiri yang pertama memulainya. Maka mengingatkan lagi tentang ramalan bahwa tahun 2012 akan kiamat, teman-teman tidak usah takut. Persoalan kiamat bukan urusan kita. Kalau kita mengamalkan kasih Allah, kapanpun kiamat itu datang, tidak menjadi masalah.
Sedikit melompat, saya mau membagikan motivasi saya menjadi seorang religius. Mungkin teman-teman bertanya, apa hubungannya hidup religius dengan kerajaan Allah? Dekat sekali, yaitu bahwa hidup religius merupakan cara hidup di surga yang ada di dunia. Dengan kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan, seorang religius belajar untuk menghayati cara hidup surgawi, yaitu tidak punya istri/suami, tidak punya barang-barang duniawi, dan mematuhi kehendak Allah. Harapannya, dengan menghayati kaul itu, seorang religius bisa mewujudkan Kerajaan Allah, yaitu memberikan kesaksian akan kasih Allah, sekaligus mewartakan kasih itu. Namun tentunya akan ada banyak hambatan dan tantangan. Misalnya bisa marah, bisa jengkel, bisa ngambek, bahkan bisa membenci, tetapi selalu ada usaha untuk memperbaiki diri dan menjadi lebih baik. Karena itu, kerajaan Allah disebut sudah ada tetapi belum sempurna.
Selama saya menjadi seorang religius, perjuangan memberikan kesaksian akan kerajaan Allah ini tidak mudah. Saya punya banyak kekurangan pribadi/ sifat-sifat yang jelek. Namun di dalam hidup religius, selalu ada dukungan untuk memperbaiki diri dan menjadi lebih baik. Beberapa yang bisa saya sebutkan, misalnya ada waktu untuk rekoleksi, retret, doa, bimbingan rohani, ziarah, pengolahan hidup, dan sebagainya. Selain itu, dengan menjadi religius, saya mempunyai pengalaman yang beranekaragam, berjumpa dan dekat dengan banyak orang, dan yang paling menguatkan saya adalah bahwa saya bisa menjadi berkat bagi orang lain. Misalnya waktu saya tugas di rumah sakit dan mengunjungi para pasien, mereka sungguh dikuatkan oleh kehadiran saya yang adalah seorang frater. Seolah-olah dengan melihat saya, mereka merasakan kehadiran Tuhan. Saya yakin, sebaik apapun orang, kalau dia bukan religius, dia tidak bisa.
Menutup khotbah saya, saya mau menceritakan sebuah kisah: Ada seorang bapak yang sangat saleh. Karena dia sangat saleh, Tuhan berkenan memperlihatkan kepadanya surga dan neraka. Dalam mimpinya, Ia diajak Tuhan melihat sebuah tempat yang sangat indah dan besar. Di ruangan itu, orang-orang duduk mengelilingi sebuah meja yang sangat besar dengan makanan yang lezat dan belimpah ada di tengah-tengah meja. Namun anehnya orang di situ kelihatan kurus dan menderita. Mereka berusaha makan, tetapi tidak bisa karena sendok yang mereka pakai untuk makan sangat panjang. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena sendok itu melekat di tangan mereka.
Kemudian Tuhan membawanya ke ruangan yang lain. Di situ dia melihat situasi yang sama, ada meja besar dengan makanan yang lezat dan berlimpah ada di tengah, dan sendok yang melekat di tangan semua orang. Namun berbeda dari tempat sebelumnya, di tempat itu dia melihat orang di sana bahagia, dan bisa makan dengan kenyang. Dia perhatikan, ternyata di ruangan itu, orang makan sambil saling menyuapi. Setiap orang menyuapi orang lain yang dijangkau oleh sendoknya.
Memetik pesan dari cerita itu, kerajaan Allah akan terwujud kalau kita berani untuk tidak mementingkan diri kita sendiri, tetapi mau berbuat kasih kepada orang lain. Kalau A berbuat kasih kepada B, B kepada C, C kepada D, dan seterusnya, dan akhirnya kembali Z kepada A, maka kasih akan dirasakan semua orang. Inilah kerajaan Allah.

Minggu, 11 November 2012

Mbok Turah


Pertama kali melihat Omah Petroek, saya merasakan suasana yang unik, yaitu perpaduan antara suasana pedesaan yang asri dan sejuk dengan suasana artistik-kultural. Suasana itu diperkuat oleh keramahan Mas Anto dan Mas Wawan yang menyambut kami dengan sangat ramah. Kami diajak berkeliling melihat sekitar Omah Petroek. Saya melihat rumah panggung yang sederhana tetapi indah dan bersih, pohon-pohon yang asri, taman yang tertata rapi, dan patung-patung yang artistik.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah patung Mbok Turah.Patung Mbok Turah adalah patung seorang ibu dengan nuansa budaya Jawa yang sedang duduk di lantai.Berbeda dengan patung-patung lainnya, patung ini berada di dalam sebuah rumah/pondok kecil yang terbuka (tidak punya dinding). Selain itu, patung ini juga paling besar, diberi dupa dan bunga. Tampak jelas bahwa patung ini mendapatkan perhatian yang khusus.
Pertama kali melihat patung Mbok Turah, saya merasakan suatu nuansa religius, yaitu penghormatan terhadap sesuatu yang dilambangkan oleh Mbok Turah. Pertanyaannya adalah Mbok Turah itu melambangkan apa? Apakah dia adalah gambaran dari ibu yang punya jasa besar bagi Omah Petroek? Apakah dia tokoh terkenal dalam budaya Jawa? Atau adakah makna lain?
Dari Mas Anto saya mengetahui makna simbol Mbok Turah. Kata “turah” dalam bahasa Jawa berarti berlebih (bukan sisa). Berlebih ini melambangkan kemakmuran dan kemurahan hati. Maka Mbok Turah ini melambangkan kelimpahan yang selalu diterima oleh Omah Petroek, sekaligus kemurahan hatinya untuk membagikan kelimpahan itu kepada orang yang datang. Harapannya bahwa semua orang yang datang tersentuh oleh kemurahan hati Omah Petroek dan tergerak untuk menjadi murah hati juga bagi orang lain. Persis ini juga yang saya rasakan.
Mbok Turah yang melambangkan kemurahan hati dikaitkan juga dengan seorang ibu yang bekerja dengan keras untuk menghidupi anaknya. Tidak ada motivasi lain bagi seorang ibu selain bahwa anaknya bisa tumbuh-berkembang dan hidup dengan baik. Ibu akan melakukan apapun agar keinginannya itu terwujud. Maka penghormatan kepada Mbok Turah menjadi simbol penghormatan kepada para ibu yang menjadi pahlawan bagi anak-anak mereka. Bagi orang Katolik, simbolisasi ibu ini bisa dikaitkan dengan Maria, teladan para ibu. Maria adalah contoh sosok ibu yang dengan penuh cinta berperan besar dalam membesarkan Yesus yang adalah anak Allah. Dan bagi semua agama, Mbok Turah melambangkan Allah sendiri yang sangat murah hati kepada manusia.
Simbolisasi ini mengikuti alur pemikiran teologi Kosuke Koyama. Dalam kunjungannya ke Sekolah Teologi Tarus di Kupang, dia melihat sebuah peternakan ayam di sekitar sekolahan. Para siswa memelihara ayam untuk menambah pemasukan pribadi mereka. Ayam-ayam itu menjadi pangkal terjadinya dialog:
A: saya melihat telur: dijual dan dapat uang.
B: saya melihat Allah: Dia yang menciptakan ayam bagi kita untuk dimakan.
C: saya melihat sebuah kehidupan keluarga yang baik: Ibu yang bertanggungjawab.
D: saya melihat perbedaan antara manusia dan hewan: yaitu berkaitan dengan pemahaman yang dimiliki manusia yang menjadikan dia lebih superior.
Dalam percakapan lain tentang gambar/patung Buddha dan Hindu, Kosuke Koyama membandingkan gambar yang memilikiduatangandengan gambar yang memiliki lebih dari dua tangan (“seribu tangan”). Gambar dengan “banyak tangan” yang merupakan hal biasa dalam tradisi Hindu, sulit dipahaminya (mengganggunya) secara psikologis. Menurutnya, gambar “seribu tangan” tampak seperti sebuah bentuk yang aneh. Kalau menyimbolkan kesiapsediaan untuk membantu, tampaknya itu adalah hasil imaginasi yang sangat menyolok. Menurutnya, gambar dua tangan yang normal memiliki makna yang jauh lebih dalam karena kesediaan untuk membantu menjadi sangat menonjol berhadapan dengan keterbatasan, yaitu hanya “dua tangan”.Dalam keterbatasan itulah tampak jati diri mereka yang mempersiapkan segalanya secara lebih dalam dan lebih menyeluruh untuk membantu dan menyelamatkan yang lain.Yang terbatas itu akan memiliki tenaga yang lebih kuat dan lebih bersemangat daripada yang tak terbatas. Menutip Injil Lukas, Kosuke Koyama mengangkat kisah persembahan janda miskin yang dipuji oleh Yesus. Persembahan itu menjadi sangat berarti karena diberikan dari kekurangan janda itu (Bdk. Lk. 21:1-4). Kosuke Koyama mau menunjukkan bahwa kuasarahmat Allah bekerjamelaluiketerbatasannya (bdk. 2Kor 13:4).
Dari kedua contoh simbolisasi yang ditulis oleh Kosuke Koyama dalam bukunya yang berjudul 50 Meditations, bisa dilihat kaitan yang sangat erat antara simbol dengan yang disimbolkan dan bahwa simbol bisa membawa orang pada realitas yang sesungguhnya. Demikian pun halnya dengan patung Mbok Turah. Melihat patung ini, orang langsung dibawa ke suasana yang simbolis. Orang langsung bertanya apa maknanya? Orang bisa menerima pemaknaan yang diberikan oleh sang pembuat, bisa menambahkan dengan penafsiran lain, atau bisa juga menolaknya. Patung Mbok Turah bisa membawa pada berbagai macam penafsiran yang tidak mengikat. Ketika Mas Anto menyebut bahwa nama patung itu adalah Mbok Turah, dia juga menambahkan bahwa “nama itu bisa diganti dengan nama apapun”. Nama bukanlah persoalan. Yang pokok adalah bahwa lewat patung Mbok Turah, atau apapun namanya, orang bisa sampai pada suatu rasa penghormatan kepada realitas dari patung itu, apapun itu, tergantung dari penafsiran tiap orang: bisa ibu yang melahirkan, bisa Bunda Maria, bisa Allah yang Pemurah, atau apapun. Di sinilah keunggulan bahasa simbol. Dia bisa mengakomodasi berbagai macam penafsiran. Orang juga bisa belajar untuk mulai keluar dari pikiran yang sempit dan tertutup, untuk mau terbuka menerima perbedaan yang ada. Saya kira inilah salah satu visi yang dibawa oleh Omah Petroek.
Maka jika ditanya apakah patung-patung di Omah Petroek itu merupakan suatu praktik yang sesat menurut ajaran Gereja Katolik, menurut saya tidak. Omah Petroek justru memperlihatkan realitas dunia yang beragam, sekaligus mengajarkan nilai keterbukaan yang dibawa oleh Yesus. Yesus berani keluar dari pikiran sempit orang Yahudi yang melihat diri mereka sebagai satu-satunya yang benar dengan mengisahkan sebuah perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Lk. 10:30-35).



Sabtu, 10 November 2012

Where is your God?



Dewasa ini, banyak orang sama sekali tidak menyadari hubungan kehidupan yang mesra dengan Allah atau dengan tegas menolaknya . Menanggapi kenyataan yang sangat gawat itu, Paus Paulus VI membentuk sekretariat untuk orang yang tidak beragama yang oleh Paus Yohanes Paulus II diganti menjadi komisi kepausan untuk kebudayaan. Tujuan komisi ini adalah mempromosikan perjumpaan pesan Injil dengan budaya zaman kita, dan untuk mempromosikan studi mengenai masalah ateisme dan religious indifference, lalu menyelidiki penyebab dan akibatnya terhadap iman Kristiani.
Hasil studi komisi itu dirangkum dalam sebuah dokumen yang berjudul “Where is your God?”. Dokumen ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan ringkasan analis dari ateisme dan religious indifference, sedangkan bagian kedua menawarkan sejumlah usulan konkret untuk dialog dengan orang yang ateis dan untuk evangelisasi budaya yang ditandai oleh ateisme dan religious indifference.

Dari informasi-informasi yang dikumpulkan oleh komisi kepausan untuk kebudayaan, bisa ditarik beberapa hal penting: secara global, ateisme tidak meningkat di dunia, tetapi hanya di barat; ateisme militan memudar dan tidak lagi memiliki pengaruh yang penting dalam kehidupan publik, kecuali di rezim dimana sistem politik ateis masih berkuasa; ateisme berganti wajah, yaitu terkait dengan gaya hidup, dan emansipasi perempuan; ateisme praktis berkembang pesat; agnotisisme tetap; rasa hormat pada otoritas atau nilai-nilai religius pudar; Allah tidak lagi dibutuhkan, tetapi hanya mengejar kebutuhan materi dan biologis; dalam budaya sekularisasi, jumlah orang yang ikut Misa menurun; di barat, disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidak memuaskan, pencarian kehidupan spiritual berkembang, tetapi tidak kembali ke praktik religius tradisional; akhirnya, pada awal milenium baru, suatu ketidakpuasan terjadi baik dalam ateisme militan dan iman tradisional; orang meninggalkan begitu saja kepercayaan tradisional, tetapi manusia yang disebut homo indifferens merupakan homo religiosus yang mencari religiusitas yang baru dan selalu berubah.

Di negara-negara Kristen tradisional, orang menjadi tidak percaya bukan karena pilihan setelah pergulatan yang panjang, tetapi hanya terjadi begitu saja, karena “itulah yang orang lain lakukan” (cosi fan tutti). Ini disebabkan oleh pewartaan yang kurang efektif, ketidakpedulian pada tradisi keagamaan dan budaya kristiani, dan kurangnya tawaran pengalaman rohani yang mendalam.

Masalah ketidakpercayaan lebih menyangkut pertanyaan akan kekurangpedulian (negligence) daripada menyakiti orang lain (malice). Banyak yang yakin bahwa dibalik fenomena ini ada gerakan yang terencana, asosiasi, dan kampanye yang disengaja. Di dalam GS 19-21 disampaikan beberapa penyebab orang menjadi ateis:
• Ilmu pengetahuan modern: visi dunia tidak lagi mengindahkan peran Allah, bahkan seolah-olah menolak keberadaannya. Teori kosmologi dan evolusi yang selalu diulang oleh media massa ikut berperan pada penolakan akan Yang Transenden.
• Manusia Absolut adalah pusat alam semesta: meski regim ateisme Marxis dan Lenin sudah runtuh, tetapi model antropologi yang menekankan bahwa manusia adalah pusat mutlak dari realitas ditekankan semakin kuat. Manusia menggantikan Allah. Akibatnya terjadi alienasi manusia. Berkembang filsafat nihilisme, relativisme nilai dan moralitas, pragmatisme, bahkan hedonisme sinis, dalam hidup sehari-hari. Manusia juga menjadi egois, dan menolak nilai obyektif, tetapi tergantung pada pendapat pribadi setiap orang.
• Masalah Kejahatan: adanya kejahatan dan penderitaan orang tidak berdosa menjadi alasan untuk membenarkan ketidakpercayaan dan penolakan akan Allah yang baik. Paham kebebasan bahwa manusia bisa berbuat baik atau jahat tidakbisa diterima.
• Keterbatasan sejarah orang Kristen dan Gereja di dunia: mayoritas kelompok ateis adalah orang-orang Kristen yang kecewa (deluded) atau tidak puas. Mereka menganggap kepercayaan itu sia-sia. Penyebabnya biasanya berkaitan dengan suatu peristiwa di Gereja yang kurang menyenangkan yang dialami pada masa remaja. Misalnya, imam yang melakukan skandal (seks atau materi). Meski begitu, kadang relasi dengan Allah tetap dipertahankan.

Selain sebab-sebab di atas, ditemukan juga beberapa faktor penyebab yang baru:
- Keretakan dalam proses pewarisan iman.Salah satu akibat proses sekularisasi adalah semakin sulitnya mewariskan iman melalui katekese, melalui sekolah, keluarga, dan homili. Misalnya, ritme kerja orangtua yang terlalu sibuk,banyak sekolah katolik yang ditutup, serta kurangnya komitmen para guru untuk mengajarkan iman Katolik.
- Globalisasi Perilaku.Peradaban zaman sekarang terlalu erat terjalin dengan hal-hal duniawi, seperti sukses, uang, kesenangan individu, sehingga menciptakan banyak praktik ateis. Manusia hanya sebagai obyek. Namun kebutuhan rohani bisa juga muncul karena ritme hidup yang melelahkan (frenetic) dan berlebihan (obsesive). Orang mencari Allah dalam agama alternatif yang menawarkan keterlibatan afektif dan emosional dalam dosis tinggi, tanpa tanggung jawab moral atau sosial. Maka muncullah banyak tawaran “do-it-yourself religion”, sebuah hidup rohani berciri supermarket (spiritual supermarket) di mana orang bebas memilih dan melepaskan seturut dengan rasa dan kesenangan pribadi.
- Media Massa pada kodratnya bersifat ambivalen, bisa baik bisa jahat. Sayangnya, sering media massa menyuarakan ateisme dan religious indifferent. Di negara (mayoritas) Kristen, beberapa media massa menampilkan gambaran yang keliru tentang Gereja. Di internet terdapat banyak situs setan yang menyampaikan hasutan bersifat anti Kristiani. Persepsi negatif ini menghalangi pewartaan pesan iman.
- Pertumbuhan sekte-sekte adalah reaksi terhadap budaya sekular. Gerakan yang dikenal dengan New Age ini kendati tidak menyebabkan ateisme, tetapi ikut andil dalam kebingungan agama. Juga kritik kasar dari elit-elit tertentu, gerakan keagamaan yang baru, dan bujukan sekte pantekosta berperan pada melemahnya hidup iman. Komunitas sekte ini banyak menarik kaum muda menjauh dari Gereja tradisional (Amerika dan Afrika), tetapi tidak sanggup memuaskan kebutuhan rohani mereka terus-menerus. Bagi banyak orang, agama ini menjadi titik keluar dari agama.

Berbicara tentang sekularisasi, yang dipersoalkan adalah sekularisasi sebagai sebuah konsep dunia yang sempurna (self explanatory), tanpa perlu peran Allah. Banyak yang menyebut diri Katolik, begitupun juga dari agama lain, masuk dalam gaya hidup di mana Allah, atau agama, kurang penting. Iman muncul tanpa substansi dan tidak lagi membutuhkan keterlibatan pribadi. Ada ketidakselarasan antara iman yang diakui dan dihayati. Beberapa gaya hidup sekular yang memberi efek negatif pada hidup iman antara lain: mentalitas hedonisme, konsumersime, relativisme, laxisme, pansexualisme, dan kumpul kebo. Aborsi dan eutanasia diterima sebagai praktik yang biasa. Dogma pokok iman Kristen: inkarnasi Kristus, Kristus sang Juruselamat, kebangkitan badan, dan kehidupan kekal dipandang tidak penting.

Sejalan dengan berkembangnya ketidakpedulian akan agama di negara sekular, muncul pencarian akan suatu agama yang romantis, yaitu agama yang berakar pada krisis subyek yang menjadi lebih narcistik, dan menolak semua unsur historis dan obyektif. Beberapa kekhasannya:
- Agama baru merupakan penyembahan terhadap Allah yang sering tidak punya wajah atau karakter personal. Allah adalah sebuah kekuatan atau sesuatu yang transenden dan superior, tetapi yang tidak punya atribut personal, seperti seorang ayah.
- Elemen konstitutif dari agama baru adalah bahwa pangkalnya pada “aku”. Agama ini berdasarkan kesuksesan pribadi dan pencapaian tujuan masing-masing orang, sehingga disebut “Biographiocal Do-It-Yourself Religion”. Setiap orang menciptakan gambaran baru tentang Allah dalam setiap taraf hidup mereka, mulai dari bahan yang bermacam-macam seolah-olah dia merupakan suatu bentuk “Holy patchwork”.
- Kurangnya ketertarikan akan pertanyaan tentang kebenaran. Pertanyaan akan kebenaran kristianitas dan keberadaan Allah dianggap tidak ada arti dan tidak relevan. Kebenaran dipandang secara negatif yaitu konsep dogma, intoleransi, pemaksaan, dan inkuisisi, sebagai sarana memaksakan pilihan hati nurani, yang tidak berkaitan dengan kebenaran.

Budaya dan keagamaan baru menjadi kesempatan untuk memperdalam imanumat Kristiani dan mencari cara baru mewartakan Kabar Gembira Cintakasih Yesus Kristus kepada orang ateis dan indifferent. Misi Gereja bukanlah merintangi transformasi budaya tetapi memastikan bahwa iman dalam Kristus diwariskan dalam jantung budaya dan menjalani perubahan yang mendalam.
Dialog dengan orang ateis didasarkan atas dua segi perintah Yesus kepada Gereja: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15) dan “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mt 28:19). Tugas misionaris adalah tugas semua orang Kristen tanpa kecuali.

Cara yang paling tepat adalah dialog yang personal, penuh hormat, penuh cinta, disokong oleh doa, dan keyakinan akan kebenaran iman Katolik sambil berharap bahwa orang ateis sampai pada pengenalan akan satu-satunya Allah yang benar, dan Yesus Kristus yang telah diutus.”(Yoh 17:3). Dialog bisa bertolak dari beberapa tema penting kehidupan: makna hidup dan kematian, pengalaman rohani; atau tema kemasyarakatan: kemiskinan, solidaritas. Dialog bisa juga bersifat lebih formal melalui diskusi dan debat dengan organisasi ateis. Intinya adalah bagaimana iman dijelaskan agar mudah dipahami dan diterima.

Sudah menjadi perutusan Gereja untuk bergulat dengan persoalan budaya setiap masyarakat dan bangsa. Tujuannya adalah untuk membiarkan Injil masuk dalam situasi aktual hidup setiap orang dalam masyarakat. Ada beberapa cara yang dilakukan Gereja:
1. Menghadirkan Gereja di forum umum. Kehadiran yang kelihatan dan tindakan Gereja yang konkret dalam masa ini sangat penting dan dibutuhkan untuk mempertemukan orang dengan pesan kebenaran yang dinyatakan dalam Kristus. Misalnya dalam debat-debat besar dan peristiwa sosial yang menghadirkan pesan Kristus sedemikian rupa sehingga menarik perhatian dunia, misalnya dalam world youth day; pilgrimage of the relics of St. Therese of the Child Jesus, karya sosial, dan politik.
2. Membantu dan mendampingi keluarga karena merekalah yang menjadi tempat pertama perwarisan iman, misalnya melalui persiapan sebelum perkawinan.
3. Meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pada tingkat dasar, dan memperhatikan inisiasi Kristen melalui katekese sakramental yang menjadi conditio sine qua non bagi pertumbuhan yang berkelanjutan kedalam hidup ilahi dan kasih Gereja. Beberapa hal konkret misalnya studi Kitab Suci dan ajaran sosial gereja untuk membantu peserta lebih aktif dengan terang iman memikirkan kehidupan bermasyarakat.
4. Mewartakan iman melalui keindahan dan warisan budaya, yang dengan bahasa simbolis mempunyai kekuatan untuk menyatukan semua orang dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda, sekaligus merupakan sarana penting untuk mengarahkan kepada Allah, dan memuaskan dahaga spiritual.
5. Mengoptimalkan dua sisi penting pendekatan pewartaan, yaitu kepala dan hati, pikiran dan perasaan. Berhadapan dengan persoalan bahasa, diambil pemecahan untuk masuk dalam situasi konkret, misalnya menggunakan bahasa kaum muda. Penting juga relasi personal (lingkungan), dan masalah inkulturasi.
6. Menjadikan Pusat Budaya Katolik sebagai sarana bagi Gereja untuk hadir dan memperkenalkan secara kreatif ajaran-ajaran Kristiani kepada masyarakat luas. Misalnya tentang keluarga, kerja, ekonomi, masyarakat, politik, dan lingkungan.
7. Menciptakan wisata rohani, misalnya kegiatan dan acara yang membantu memahami keistimewaan warisan Gereja lokal, adanya museum keuskupan, dan perjalanan devosi (popular piety), yang sekaligus menjadi sarana katekese dan pendidikan. Tidak kalah penting adanya website keuskupan untuk mempublikasikan kegiatan tersebut.

“Untuk menampilkan kehadiran Allah sangat mendukunglah kasih persaudaraan umat beriman, yang sehati-sejiwa, berjuang demi iman yang bersumber pada Injil, serta membawakan diri sebagai tanda kesatuan.” (GS. 21). Kesaksian cinta kasih merupakan argumen paling meyakinkan untuk membuktikan bahwa Allah ada (bdk. 1Kor 13). Para kudus adalah contoh konkret orang yang memancarkan kasih dalam hidup mereka. Zaman ini, kasih itu tampak dalam keterlibatan Gereja dalam membantu orang miskin, dan tertindas.

Persoalan ateisme dan religious indifferent sudah cukup lama disadari oleh Gereja. Studi yang dilakukan oleh komisi kepausan untuk kebudayaan ini sudah sangat detil dan lengkap. Usulan-usulan yang diberikan pun sangat konkret. Meski demikian tampaknya pengaruh ajaran Gaudium et Spes dan dokumen Where is your God ini belum cukup dirasakan. Saya memikirkan beberapa faktor yang menjadi penyebab. Pertama, sangat terasa khususnya dalam dokumen ini, suatu bentuk superioritas Gereja Katolik. Judulnya saja sudah terkesan menyerang. Maka tidak heran bahwa orang ateis langsung bersikap defensif. Kedua, dokumen ini menurut saya kurang disosialisasikan, sehingga meski dibuat delapan tahun yang lalu, penerapan usulan konkret yang diberikan belum maksimal. Apalagi memang butuh waktu yang lama dan tenaga yang besar untuk menanggapi suatu budaya. Meski demikian, Gereja mengajak kita untuk tidak menyerah, tetapi berani berkata seperti Petrus: “Karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." (Lk. 5:5b).

Sumber: dokumen Vatikan

LATAR BELAKANG LITERER DAN KULTURAL SASTRA APOKALIPTIK




Pendahuluan

Apokaliptik merupakan salah satu jenis sastra dalam Alkitab. Ini berarti bahwa sastra apokaliptik merupakan sebuah komposisi yang ditulis dengan sebuah ‘aturan’ dan kesepakan tertentu sehingga perlu dibaca dengan aturan tertentu juga . Namun jenis sastra ini sering tidak dipahami dengan baik sehingga ditafsirkan secara keliru. Padahal gagasan apokaliptik yang merupakan salah satu kategori berpikir alkitabiah itu mempunyai pengaruh yang amat besar dalam masyarakat sampai saat ini. Beberapa denominasi Kristen mengadopsi gagasan ini dalam kadar dan bentuk yang berbeda . Contohnya adalah “Pondok Nabi” di Bandung, sekte Branch Davidian, dan Peoples Temple. Juga muncul novel dan film yang bertemakan apokaliptik seperti Left Behind karya Tim LaHaye-Jerry B. Jenkins .

Untuk dapat memahami dengan baik tentang gagasan apokaliptik ini, salah satu hal yang perlu diketahui adalah latar belakang literer dan kultural sastra apokaliptik. Karena itu paper ini akan secara khusus membicarakan tentang hal tersebut. Sehubungan dengan itu beberapa persoalan yang akan dijawab adalah dari mana gagasan apokaliptik ini berasal?; apakah merupakan gagasan asing atau lokal?; dan apa relasinya dengan tradisi kenabian? Setelah membaca dan membandingkan beberapa buku, sumber utama yang akan dipakai adalah sebuah bab yang berjudul Apokalyptic: Ist Birth and Growth dari buku Divine Disclosure: An Introduction to Jewish Apocalyptic karya D.S. Russell. Buku ini sengaja dipilih karena cukup banyak membahas tentang apokaliptik yahudi yang menjadi akar tradisi apokaliptik dalam Kitab Suci.

Latar Belakang Sejarah Apokaliptik

Kitab-kitab apokaliptik yang berasal dari periode intertestamen merupakan suatu catatan tentang peristiwa sejarah dari tahun 250 SM sampai 100 M, sekaligus memuat tanggapan iman bangsa Israel ketika berhadapan dengan berbagai bentuk krisis dan tirani pada masa itu. Oleh karena itu kitab-kitab ini tidak dapat dipahami dengan baik bila dilepaskan dari pengaruh religius, politik dan ekonomi pada waktu itu; demikian juga sebaliknya bahwa sejarah dalam kitab itu tidak bisa dipahami bila dilepaskan dari harapan dan kekhawatiran iman umat Allah yang terus bergema di dalamnya .

Sebelum tulisan-tulisan apokaliptik seperti I Enoch dan Daniel muncul antara abad ketiga dan kedua sebelum masehi, ada masa persiapan yang cukup panjang. Namun masih menjadi perdebatan apakah tulisan-tulisan kanonik yang muncul dalam masa itu dapat disebut ‘apokaliptik’ ataukah disebut ‘embrio’ . Yang jelas bahwa masa-masa intertestamen dan beberapa abad sebelumnya ditandai oleh perkembangan pesat budaya helenistik yang merupakan cita-cita Alexander Agung (336-323 SM) dan para penggantinya, dan bahwa apokaliptik yahudi merupakan sebuah protes terhadap nilai-nilai yang dibawa oleh budaya itu.
Alexander Agung dan para penggantinya (Ptolemeus dan Seleukus) memberikan toleransi yang membuat Yudaisme dan Helenisme bisa hidup bersama. Meski begitu, beberapa tua-tua Yahudi melihat Helenisme sebagai sebuah ancaman terhadap Yudaisme . Mereka mengganggap bahwa pengaruh Helenisme akan menjadi penghambat pelaksanaan janji Allah melalui para hambaNya yaitu para nabi. Namun toleransi yang terapkan oleh Alexander Agung dan para penggantinya hilang pada masa kepemimpinan Antiokhus Epifanes IV (175-163 SM) . Takut akan perpecahan yang dapat timbul pada kerajaannya, dia menerapkan helenisasi secara lebih ketat. Ini membawa pengaruh besar baik secara sosial, kultural dan religius bagi kehidupan orang Yahudi . Contoh yang sangat jelas adalah ketika Antiokhus menunjuk sendiri Imam Agung, terjadi pemberontakan di kota. Antiokhus marah dengan pemberontakan ini dan memutuskan untuk memberi pelajaran kepada orang-orang Yahudi. Dia mencemarkan Bait Suci dan menjarah isinya, dan pada tahun 167 SM mengeluarkan sebuah peraturan yang melarang rakyat untuk hidup menurut aturan nenek moyangnya. Simbol-simbol agama Yahudi dilarang dengan ancaman hukuman mati. Dia memahkotai kekejian ini dengan mendirikan sebuah altar kepada Zeus Olimpus di Bait Allah dan mempersembahkan daging babi di situ (2 Mak. 6:2; Dan 11:31,12:11) . Salah satu kaum yang menentang peraturan raja itu adalah Makabe. Mereka mengadakan perlawanan fisik terhadap campur tangan raja Antiokhus Epifanes di dalam urusan kehidupan adat dan agama mereka . Di samping kelompok Makabe, ada juga kelompok yang melawan tanpa memakai kekerasan. Menurut mereka perlawanan fisik bukan cara yang bijaksana. Mereka mendalami arti berteguh sebagai orang Israel dalam situasi itu. Mereka mengharapkan Tuhan segera mengakhiri kesesakan mereka seperti ketika mereka dibebaskan dari pembuangan .

Krisis yang dialami oleh umat Israel terus berlanjut. Dalam proses waktu dan dengan bantuan orang-orang Romawi, kekuasaan beralih ke tangan Herodes (37-4SM) dan puteranya, tetapi helenisasi terus berlanjut bahkan semakin hebat . Kebangkitan orang-orang Zelot menjadi contoh kebencian yang membara yang dirasakan oleh banyak orang Yahudi terhadap Herodes dan keluarganya dan juga terhadap Prokurator Romawi (6-66) yang memerintah pada masa itu. Kepada mereka dan yang lainnya, perjuangan merupakan perang suci yang mencapai klimaks pada perang Yahudi 66-70, ketika Yerusalem dihancurkan dan bangsa Yahudi dinyatakan musnah .

Kejatuhan Yerusalem pada tahun 70 menandai sebuah krisis yang lebih besar daripada segala yang pernah terjadi sebelumnya sejak masa pembuangan itu sendiri. Hal ini direfleksikan dalam kitab IV Ezra dan II Barukh. Pengarang kitab itu bergulat dengan tragedi yang telah menimpa Yerusalem dan umatnya dan mencoba untuk menemukan penjelasan atas hal tersebut. Kedua pengarang mengikuti jalur yang berbeda, tetapi tanggapan mereka secara esensial sama pada akhirnya-tidak ada solusi yang dapat ditemukan pada tataan dunia saat ini, tetapi hanya pada tatanan masa depan .

Tulisan-tulisan apokaliptik yang kemudian merefleksikan sejarah dan menyumbangkan pemahaman mereka mengenai masa itu dalam suatu jeritan keputusasaan yang juga merupakan sebuah penegasan tentang harapan bahwa Allah di surga akan mendirikan sebuah kerajaan yang tidak akan pernah dihancurkan, juga tidak akan pernah dialihkan kepada bangsa lain; Dia akan menghancurkan semua kerajaan-kerajaan ini dan mengakhiri semuanya, sementara Dia akan bertahan selamanya (Dan 2:44 REB; Why 11:15) . Meski apokaliptik tergolong sastra yang lahir pada masa krisis tetapi tekanan utamanya adalah ketidakpuasan terhadap dunia yang fana .


Akar Apokaliptik

Asal mula apokaliptik telah menjadi bahan diskusi para ahli. Dari diskusi itu ada dua aliran besar yang muncul yaitu mereka yang melihat apokaliptik sebagai perkembangan alami dari unsur-unsur yang sudah ada dalam Yudaisme dan mereka yang melihat apokaliptik sebagai unsur asing yang diambil dari dunia bukan yahudi. Namun saat ini pandangan yang banyak diterima adalah bahwa apokaliptik merupakan hasil dari perpaduan yang kompleks dari unsur asing dan unsur lokal . Dari perpaduan yang kompleks itu, muncul lima pendapat tentang sumber utama sastra apokaliptik .

1. Tradisi Kenabian
Banyak ahli berpendapat bahwa sumber utama apokaliptik yahudi adalah tradisi kenabian Perjanjian Lama. Russel sendiri lebih senang mendeskripsikannya sebagai ‘akar induk’ yang memberi nutrisi kepada apokaliptik sehingga dapat menjadi ‘bunga’ pada sekitar abad kedua SM . Namun sebenarnya telah diketahui bahwa asal mula apokaliptik dapat ditelusuri jauh ke belakang dan bahwa eskatologi kenabian adalah faktor yang paling penting dalam proses pengembangannya. Dalam hal ini eskatologi kenabian dan eskatologi apokaliptik dilihat sebagai dua hal yang berkelanjutan . Namun perkembangan itu dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik.

P.D. Hanson mengatakan dengan jelas bahwa apokaliptik merupakan suatu gaya yang diasumsikan oleh eskatologi kenabian ketika dipindahkan ke dalam situasi yang baru dan radikal pada komunitas sesudah pembuangan. Otto Plöger juga berpendapat yang sama ketika dia menelusuri asal mula apokaliptik sampai pada harapan-harapan eskatologi kenabian pada abad kelima SM dan melalui tulisan seperti itu dalam Yes 24-27, Zak 12-14 dan Yoel 3-4 sampai mendapat bentuk yang sudah jadi pada Daniel di abad kedua SM . Hanson juga melihat tradisi kenabian akhir Israel - dari abad keenam dan selanjutnya - untuk membuktikan transformasi eskatologi kenabian ke apokaliptik. Dengan demikian dia dapat mendeskripsikan Deutero Yesaya sebagai proto apokaliptik (abad enam akhir), Zak 12-13 sebagai apokaliptik pertengahan (middle apocalyptic) (pertengahan pertama abad keenam), serta Trito Yesaya dan Zakaria 11 sebagai apokaliptik yang sudah jadi (475-425 SM). Selain itu perkembangan dari kenabian sampai pada apokaliptik tidak hanya meliputi isi eskatologis dari tradisi kenabian saja, tetapi juga gaya sastranya.

2. Tradisi Kebijaksanaan
G. Von Rad pada abad 19 mengembangkan gagasan tentang tradisi kebijaksanaan sebagai sumber apokaliptik yahudi . Dia mengumpamakan tradisi kebijaksanaan sebagai tanah yang menjadi tempat apokaliptik tumbuh, sekalipun dengan bantuan sumber-sumber asing. Dia menunjuk pada fakta bahwa pada kitab apokaliptik dari abad kedua SM dan selanjutnya sangat sedikit, jika ada, para nabi dinamai dengan nama pengarang atau pahlawan yang bersifat rekaan, sementara tokoh seperti Daniel, Enoch, dan Ezra termasuk orang-orang yang bijaksana . Lebih lagi, kitab seperti itu dikaitkan bukan hanya dengan sejarah tetapi juga dengan alam dan dengan tatanan dunia yang harmonis - musim yang berubah, pergerakan benda-benda langit, minat pada geografi dan meteorologi, dll - masalah-masalah yang menyangkut kebijaksanaan. Berkaitan dengan sejarah, dia berpendapat bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu sesuai dengan waktunya masing-masing dan sejarah dipandang sebagai pengantar tatanan dunia yang trasenden . Ini berbeda dari para nabi yang menganggap sejarah sebagai sarana pewahyuan Allah melalui tindakan penyelamatanNya. Konsep predeterminisme ini bukan karakteritik tradisi kenabian. Sedangkan interpretasi sejarah dalam istilah mimpi dan penglihatan, yang begitu umum pada tulisan apokaliptik, merupakan sebuah fungsi dari “manusia yang bijaksana”. Dari argumen seperti itu dia menyimpulkan bahwa asal mula apokaliptik tidak mungkin dari tradisi kenabian tetapi lebih dari kebijaksanaan itu sendiri. Selain tidak banyak diikuti, gagasan dia ini juga menuai banyak kritik .

3. Metode Penulisan
Meski sudah dijelaskan bahwa sumber utama kitab apokaliptik lebih cenderung berasal dari tradisi kenabian daripada kebijaksanaan, ini tidak berarti bahwa kitab apokaliptik disamakan dengan tradisi kenabian dan betul-betul dipisahkan dari tradisi kebijaksanaan. Tampaknya jelas bahwa meski kitab apokaliptik mempunyai asal usul dari tradisi kenabian, dalam tahap perkembangannya dia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di antaranya cara penulisan (scribalism) Babylonia yang sudah tersebar luas pada masa helenistik . Kekhasan cara penulisan ini adalah sifatnya yang komprehensif dan minat yang begitu besar dalam penglihatan dan mimpi yang diungkapkan dalam kebijaksanaan yang ilahi. Dalam penulisan dapat dirasakan banyak spekulasi berkaitan dengan tatanan penciptaan, pengetahuan astronomi, astrologi, kosmologi, dan kosmogoni, pergerakan benda-benda langit dan rahasia penciptaan yang dimuat dalam heavenly tablets . Dari sini dapat diketahui bahwa penulis merupakan orang pandai, memiliki banyak pengalaman dan menguasai ilmu kuno. Mereka mampu menafsirkan kembali dalam situasi masa kini pelihat-pelihat dan pertanda pada masa silam dengan teknik penerjemahan yang mempunyai kesejajaran cukup dekat dengan apokaliptik yahudi. Dari studi penulisan di Mesir dan di tempat lain selama masa helenistik, J.Z. Smith menyimpulkan bahwa apokaliptisme merupakan fenomena religius yang berkembang melalui proses pembelajaran .

4. Tradisi Imamat
Pada pandangan pertama tampaknya hubungan antara apokaliptik dan tradisi imamat renggang, misalnya tidak ada minat kelompok imam dalam menjawab pertanyaan eskatologi dan antagonisme . Padahal ada tanda-tanda positif dalam tulisan apokaliptik yang menunjukkan pengaruh tradisi imamat di balik kitab apokaliptik pada umumnya dan sejumlah kitab apokaliptik khususnya. Yang paling jelas ditemukan dalam komunitas Qumran yang mewarisi dan mempraktikkan tradisi imamat, tetapi sekaligus bersifat apokaliptik dalam ungkapan religiusnya. Komunitas Qumran bahkan mengangkat perpektif eskatologi apokaliptik ini ke status ideologi yang berfungsi untuk menafsirkan Kitab Suci, dan ajaran iman mereka . Karena itu komunitas Qumran disebut juga sebagai komunitas apokaliptik .
Minat dalam hal keimamatan dan ritual diilustrasikan dengan baik juga dalam sejumlah karya apokaliptik, misalnya kitab Daniel yang menekankan pentingnya hukum tentang makanan (Dan 1.8), dan juga dalam sentralitas Bait Allah dan cara pengorbanannya (Dan 8:11,14;9:27) . Ini menunjukkan bagaimana komunitas Qumran dipengaruhi oleh pandangan dunia yang diuraikan dalam kitab apokaliptik Daniel .
Faktor penting yang lain adalah pemberian tempat dalam tulisan apokaliptik bagi pentingnya astrologi dan numerologi dan perannya dalam perhitungan kalender yang sangat penting untuk menetapkan berbagai festival keagamaan.
Di samping semua ini, besar kemungkinan masuk pula pengaruh kebijaksanaan yang berhubungan erat dengan jabatan imamat dalam menerjemahan mimpi dan penglihatan (ciri khas apokaliptik). Memang, ada sedikit contoh dalam tulisan apokaliptik di mana kekudusan imam dikaitkan dengan kelayakan dalam praktik-praktik suci (Jub 8.11) dan dalam membaca tanda-tanda pada hewan kurban (Apoc of Abr 15,9ff; II Bar. 4.4) .

5. Pengaruh Budaya
Sudah cukup jelas bahwa pengaruh terhadap perkembangan apokaliptik cukup banyak dan beragam. Menurut para ahli, dalam kitab apokaliptik dapat ditemukan unsur Persia, Mesir dan Mesopotamia yang saling berpadu dan menjadi kekhasan apokaliptik yahudi . Unsur Persia yang khas adalah adalah bentuk dualismenya (konflik antara kekuatan baik dan jahat) yang mempengaruhi Yudaisme pada periode Bait Suci yang kedua . Ini dapat dilihat dalam kitab-kitab awal seperti I Enoch dan Daniel. Figur Enoch berasal dari Kej 5:18-24 tetapi sudah dikembangkan menurut model Enmeduranki, yang merupakan raja ketujuh dalam daftar para raja Sumeria . Enmeduranki mendirikan kelompok para pelihat Babylonia. Dalam kitab Daniel, dapat dilihat pengaruh timur yang beragam dan kisah dalam enam bab awal berlatarbelakang istana kerajaan Babylonia, Media, dan Persia.

Pada masa selanjutnya, seperti yang dilukiskan dalam perjanjian Abraham, pengaruh Yunani lebih tampak. Masa-masa Helenisme dengan campuran antara tradisi dan kepercayaan memadukan timur dan barat menjadi sebuah bentuk yang pada masanya memunculkan literatur yang menyatu sekaligus memiliki kekhasan masing-masing dalam merefleksikan agama dan budaya Yahudi. Peter R. Ackroyd meringkas situasi itu dengan kata-kata: “pengaruh asing mungkin masih terasa, tetapi perkembangan internal yang sangat penting. Pada peristiwa itu, kemungkinan besar ada hubungan interrelationship yang sangat halus antara kedua hal tersebut.” Selain dualisme, unsur yang lain dari Persia yang diambil adalah bukti kebangkitan, pengadilan sesudah kematian, pembagian periode sejarah, kehancuran eskatologi, dan kenaikan jiwa .

Sumber dari Mesir membawa contoh tradisi kenabian yang bersifat politis, seperti dalam teks-teks Mesopotamia. Mesopotamia juga melengkapi dengan contoh dari tradisi kenabian ex eventu yang dikombinasikan dengan prediksi yang otentik seperti terdapat dalam Daniel 11. Namun tampaknya Daniel 8 merusak pengaruh dari astrologi Mesopotamia ini .
Penutup

Dari penjelasan di atas tampak bahwa apokaliptik muncul sebagai bentuk kepercayaan umat berhadapan dengan kontradiksi antara harapan dan fakta sejarah. Di tengah bungkamnya suara kenabian, penulis apokaliptik percaya bahwa mereka sendiri diinspirasikan oleh Allah untuk menafsirkan pesan kenabian kepada generasi mereka. Mereka yakin Allah akan turun tangan untuk mendirikan sebuah kerajaan yang di dalamnya musuh-musuh akan dihancurkan dan Israel akan menerima kekuasaan dan kekuatan untuk selamanya.
Sastra apokaliptik berkembang dengan menerima berbagai pengaruh yang ada pada zamannya. Karena itu dapat dikatakan bahwa dia menjadi bagian dari sejarah tempat dia berkembang. Meski demikian sastra apokaliptik tidak bisa lepas dari tradisi kenabian karena dia merupakan suatu bentuk tafsiran. Tradisi Ibrani tetap menjadi unsur yang pokok dan khusus. Dalam hal ini pemikiran asing (helenistik misalnya) tidak memberi pengaruh yang susbstansial. Karena itu sastra apokaliptik tidak dapat disamakan dengan sinkretisme pengaruh asing. Lars Hartmann menggambarkannya sebagai “tradisi kenabian di antara para penulis.”

Martys of Laos


During Easter time in 1953, while guerrillas stormed Sam Neua, Laos, many missionaries retreated to safety. Joseph Thao Tien, a young Laotian priest ordained in 1949, had decided otherwise: “I am staying for my people. I am ready to lay down my life for my Laotian brothers and sisters. “he was marched to the prison camp in Talang; people knelt along the way, weeping. He told the: “do not be sad, I’ll come back. I am going to study...Make sure that your village keeps improving.” One year later, on June 2, 1954, Joseph Tien was condemned and shot to death. One time too many he had refused to give up his priesthood and get married.

In the meantime at the other end of the country, fr. John Baptist Malo, a former missionary to China, had been detained with four companions. Soon after – in 1945 – on his way to the prison camp, he would die from exhaustion and ill-treatment in a remote valley of Central Vietnam. In 1959 his confrere Rene Dubroux, a former prisoner of war 1940, was betrayed by a close friend associate and eliminated as a mere hindrance in the guerilla’s way. That year the Holy See had given strict instruction: “all clergy and religious personnel – excepting obviously the elderly and sick – must remain in their place of duty unless and until they are expelled.”
All missionaries adhered joyfully to this command; for a number of them it meant a verdict of death. In 1960, a young Hmong catechist, Thoj Xyooj, went together with Fr. Mario Borzaga on an apostolic trip to some villages; they never came back. In April and May 1961. Frs. Louis Leroy, Michael Coquelet and Vincent L’Henoret were snatched from their stations in the province of Xieng Khouang and savagely put to death. In Southern Laos Fr. Noel Tenaud and his faithful catechist Outhay were taken and killed. Fr. Marcel Denis was kept prisoner for a while but ended in the same way. One of their confreres wrote: “all of them were praiseworthy missionaries, ready for any kind of sacrifice. They lived in utter poverty and their dedication knew no limit. In those troubled times all of us, to some degree, aspired to martyrdom, wishing to surrender our lives totally to Christ. We did not fear exposing our lives. All of us endeavoured to reach the poorest of the poor, to visit their villages, to take care of the sick, and especially to announce the Good News of Jesus...”

Fr. John Wauthier was a tireless apostle of the refugees and stood up for justice on their behalf; in 1967 another faction ambushed and eliminated him. He left behind countless people crying in their grief: “we lost our Father!” Fr. John had more than once looked death in its ugly face. He was ready. He laid down his life out of love for his own.
In 1968 Fr. Lucien Galan, who had also started his missionary life in China, visited some isolated catechumens on the Boloven plateau. Because of the looming danger his pupil Khampeuane, aged 16, had decided to go along. On their way back enemies lay in wait; both were killed, and their blood mingled to irrigate the Laotian soil. One year later, it was the turn of Fr. Joseph Boissel, 60, a veteran of the Laos mission: he was ambushed on his way to an isolated Christian community and executed in the same manner.

In January 1970 Luke Sy, a young catechist and father of three, was sent by his bishop to evangelize the Vang Vieng area. In March he was visiting catechumens in a distant village with a companion, Maisam Pho Inpeng, also the head of a family. Catechizing and tending to the many sick villagers took quite some time. They were expected on the way back. A volley of bullets put an end to their missionary thrust; they died for Christ and his people.

These seventeen men, lay Christians and priests together, Laotians as well as foreigners, gave the supreme testimony for sake of the Gospel. The young Church of Laos recognizes them as her founding fathers. “Unless a grain of wheat falls into the earth and dies, it remains just a single grain; but if it dies, it bears much fruit.”

Name:
1. Fr. Joseph Tien, Laos 5/112/1918, + Muang Xoi (Sam Neua) June 2, 1954 educated in Vietnam, first Laotian martyr.
2. Fr. Jean-Baptiste Malo, M.E.P., Nantes (F) 1899, + Ha tinh (Vietnam) 1954 missionary to China and Laos.
3. Fr. René Dubroux, M.E.P., Lorraine (F) 1914, + Palay (Champasak) 1959.
4. Catechist Paul Thoj Xyooj, Laous 1941, + Muang Kasy (Luang Prabang) 1960 first Hmong missionary and martyr.
5. Fr. Mario Borzaga, O.M.I., Trent 1932, + Muang Kasy (Luang Prabang) 1960
6. Fr. Louis Leroy, O.M.I., Normandy 1923, + Ban Pha (Xieng Khouang) 1961.
7. Fr. Michael Coquelet, O.M.I., France 1931, +Sop Xieng (Xieng Khouang) 1961.
8. Catechist Joseph Outhay, Thailand 1933, + Savannakhet 1961
9. Fr. Noël Tenaud, M.E.P., Vendée (France) 1904, Savannakhet 1961
10. Fr. Vincent L’Hénoret, O.M.I., Bretagne 1921, + Ban Ban (Xieng Khouang) 1961
11. Fr. Marcel Denis, M.E.P., Alençon (France) 1919, + Khammouane 1961
12. Fr. John Wauthier, O.M.I., France 1926, +Ban Na (Xieng Khouang) 1967
13. Thomas Khampeuane, Laos 1952, +Paksong (Champasak) 1968 first Laven martyr
14. Fr. Lucien Galan, M.E.P., France 1921, +Paksong (Champasak) 1968 missionary to China and Laos
15. Fr. Joseph Boissel, O.M.I., France 1909, + Hat I-Et (Bolikhamsay) 1969
16. Catechist Luke Sy, Laos 1938, + Den Din (Vientiane Province) 1970 first Kmhmu’ martyr togethr with Maisam
17. Lay Leader Maisam Pho Inpeng, Laos 1934, + Den Din (Vientiane Province) 1970